Tuesday, March 30, 2010

Kapan Harus Membuka Dan Menutup Pintu Hati Kita?

Tentu kita masih ingat tentang frase ’membuka pintu hati’. Pernyataan ini tidak hanya berlaku untuk urusan menerima atau menolak kehadiran seseorang dalam hidup kita. Melainkan untuk hal apapun yang melibatkan perasaan hati. Atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan. Hingga tindakan yang akan kita ambil sebagai respon terhadap suatu keadaan. Hati kitalah yang menentukan apakah kita mengalah, atau melawan. Hatilah yang menentukan apakah kita akan mendendam atau memaafkan. Lebih dari itu, hatilah yang menentukan apakah kebaikan yang kita lakukan itu bernilai pahala dimata Tuhan atau sekedar tebar pesona dihadapan sesama manusia.   

Ketika tiba di rumah sore itu, saya mendapati sebuah kejanggalan. Pintu kamar saya tidak berdiri tegak sebagaimana biasanya. Jadi, pasti ada sesuatu dengan pintu itu. Benar saja. Tiang kusen tempat lazimnya sang pintu menempel jebol. Bagaimana bisa begitu? Ternyata bagian dalam tiang kusen itu keropos digerogoti oleh rayap. Padahal bagian luarnya terlihat baik-baik saja. Sama sekali tidak menujukkan kalau tiang kusen itu sedang menderita ’luka dalam’ yang begitu serius. Gara-gara kejadian itu, pintu kamar kami tidak bisa ditutup sampai seorang tukang kayu tuntas memperbaikinya dua hari kemudian.

Selama pintu kamar itu tidak bisa ditutup, saya bertanya dalam hati; mengapa sih pintu harus ditutup? Tanpa kita sadari, keberadaan pintu merupakan wujud ekspresi bahwa pada dasarnya kita tidak ingin sembarangan orang memasuki rumah atau ruangan-ruangan khusus yang kita miliki. Pendek kata, pintu merupakan bagian dari proses pertahanan diri yang sangat kita andalkan. Ini berlaku dalam pengertian fisik, maupun mental. Bayangkan saja, seandainya kita tidak bisa menutup pintu rumah kita. Sembarangan orang bisa lalu lalang melintasinya. Padahal, tidak semua orang memiliki itikad yang baik ketika memasuki rumah orang lain. Dalam konteks abstrak, pintu hati memainkan peranan untuk mencegah agar segala sesuatu yang kurang berkenan bagi kita tidak bisa memasuki relung hati. Jika kita tidak pernah menutupnya, maka segala sesuatu bisa memasukinya tanpa kendali. Maka, jadilah kita orang yang terombang-ambing oleh sistem nilai apapun yang datang dari luar. Padahal, belum tentu segala hal yang datang dari luar itu baik adanya bagi kita. Jika pengaruh dari luar itu malah menyakiti hati kita, mengapa kita mesti mengijinkannya masuk juga?

Bagaimana jika pintu rumah kita sama sekali tidak bisa dibuka? Tentu bukan kepatuhan semacam itu yang kita harapkan dari sang pintu. Sebab, meskipun pintu itu harus cukup tangguh untuk mencegah masuknya orang-orang yang tidak berkepentingan; dia juga harus sigap untuk membuka saat orang-orang yang pantas masuk membutuhkan akses. Persis seperti jiwa kita. Meskipun kita tidak ingin sistem nilai sembarangan masuk kedalamnya, tetapi ada banyak hal lain yang justru harus masuk kedalam sanubari kita. Karena, ada banyak penyemangat hidup dari luar yang bisa membesarkan hati. Dan ada banyak sistem nilai yang patut kita adopsi. Jika pintu hati kita juga tetap tertutup untuk hal-hal positif semacam itu, maka kita tidak akan pernah bisa meningkatkan nilai hidup.

Pertanyaannya sekarang adalah; bagaimana seandainya pintu rumah kita hanya terbuka bagi orang-orang yang berniat buruk, dan tertutup bagi orang-orang yang berniat baik? Tentu rumah kita akan menjadi tempat pertemuan para penjahat. Tidak mustahil jika kemudian para penjahat itu malah bersarang didalam rumah. Sehingga, cepat atau lambat kita juga akan berubah ikut menjadi jahat. Jika kita tidak ingin terlibat menjadi jahat, kita harus segera minggat. Padahal, itu rumah kita lho. Pertanyaan selanjutnya adalah; bagaimana seandainya pintu hati hanya terbuka bagi sistem nilai yang buruk, dan tertutup bagi nilai-nilai yang baik? Bukankah lama kelamaan hati kita akan menjadi sarang bagi biang dari segala keburukan? Padahal, kita bisa minggat dari rumah kita; tapi tidak bisa lari dari hati kita.

Ya. Ini cuma sekedar teori. Tetapi, mari kita coba melihat realitasnya sehari-hari. Mulailah dengan menanyakan kepada diri sendiri; apakah kita dapat dengan mudah menerima nasihat-nasihat baik, dan sulit untuk menerima sentimen-sentimen atau hasutan negatif? Jika demikian, pasti pintu hati kita berfungsi dengan baik. Ketika hati kita dipenuhi oleh niat baik, perilaku kita juga akan semakin baik. Pertanyaan sebaliknya; apakah kita lebih mudah menerima energi negatif, dan sering mengabaikan  bunyi-bunyi kecil yang mengalunkan himbauan bisik suci? Jika demikian, pastilah pintu hati kita tidak berfungsi dengan baik. Ketika hati kita dipenuhi oleh niat buruk, sikap dan perilaku kita juga akan semakin buruk.

Pintu hati juga berperan dalam menyeleksi energi positif dan energi negatif. Contoh ekstrimnya begini. Jika ada orang yang menampar Anda. Setelah itu, dia memberi Anda uang satu juta rupiah. Mana yang akan anda ingat paling lama; tamparannya dipipi anda, atau uang satu juta rupiah yang diberikannya? Jika atasan anda memberikan pekerjaan yang sangat berat, serta menuntut anda dengan tugas menyebalkan ini-itu . Lalu, diakhir tahun anda mendapatkan kenaikan gaji double digit. Anda lebih mengingat ’perlakuan menyebalkan’ dari atasan anda atau kenaikan gaji Anda yang sudah susah payah diperjuangkannya kepada managament?

Jika kita dikecewakan oleh seseorang, kita sering terus mengingat kekecewaan itu sepanjang hidup kita. Tetapi, jika seseorang melakukan kebaikan pada kita, maka kita dapat melupakan kebaikan orang itu hanya dalam hitungan hari saja. Kita sering lupa bahwa seseorang telah berbuat baik pada kita. Kita lebih sering menerima sugesti berisi komplain kepada pekerjaan daripada berucap syukur sekalian mengatakan; ”Tuhan, terimakasih bulan ini Engkau telah kembali memberi kami rezeki yang halal lagi baik.” Kita lebih mudah mengingat peristiwa-peristwa yang mengecewakan di kantor daripada pelajaran-pelajaran penting yang kita peroleh dari ruang-ruang training.

Begitu banyak bukti yang menunjukkan bahwa kita sering keliru memerintahkan sang pintu hati untuk membuka dan menutup. Seharusnya, pintu hati kita tertutup untuk sifat dendam sehingga kita bisa menjadi manusia pemaaf. Kita boleh terus mengingat perilaku buruk orang lain kepada kita. Tujuannya, untuk menjaga diri agar jangan sampai orang itu dapat dengan mudah memperlakukan kita tanpa sopan santun dan kepantasan tindakan. Bukan untuk memelihara dendam. Sebab, ketika kita memeliharan dendam; seolah kita tidak percaya bahwa Tuhan akan memberikan balasan yang sepadan.

Seharusnya, pintu hati kita terbuka kepada nilai-nilai kebaikan sehingga semakin hari, kita bisa menjadi manusia yang semakin baik. Kita boleh mengambil sebanyak mungkin sistem nilai yang baik. Sehingga kita mempunyai begitu banyak referensi untuk menjadikan jiwa kita semakin baik. Tujuannya, untuk memberi diri kita berbagai alternatif sehingga semakin mudah untuk melakukan kebaikan. Jika kita tidak bisa melakukan kebaikan yang ini, masih ada refensi kebaikan lain yang itu. Jika kita tidak bisa membantu dengan materi, misalnya; maka kita bisa meringankan dengan kalimat-kalimat penghiburan.

Apakah ada orang yang menutup pintu hatinya untuk hal-hal positif? Banyak. Bahkan, bisa jadi kita juga demikian. Buktinya, betapa sering kita mencibir saat seseorang menyeru kita untuk menjauhi sifat curang? Betapa seringnya kita mengabaikan hibauan untuk menjalankan amanah yang kita emban dengan sebaik-baiknya, bukan malah mengkhianatinya. Dan betapa banyak pelajaran berharga yang disampaikan oleh seorang teman, namun kita meresponnya dengan mengatakan; ’apa urusan elu?’

Selama dua hari itu, kami tidak bisa leluasa melakukan aktivitas didalam kamar. Saat itu, seolah kami tengah disadarkan bahwa pintu merupakan sebuah komponen penting dalam hidup kita. Karena pintu bisa mencegah masuknya nilai-nilai buruk kedalam diri kita. Dan pintu harus mampu menjadi akses sesuatu yang baik untuk kebaikan hidup kita. Dengan kata lain, pintu hati kita harus bisa terbuka untuk memberi jalan masuknya kebaikan kedalam hati, sekaligus menjadi jalur pembuangan sifat-sifat buruk yang kita miliki. Lebih dari itu, pintu hati kita juga harus bisa kita tutup supaya tidak sembarangan sistem nilai buruk mempengaruhi diri kita. Sekaligus menjaga agar jangan sampai sifat-sifat baik yang kita miliki berceceran.

Apakah sifat baik kita bisa berceceran? Bisa. Karena, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Itulah sebabnya, sewaktu masih kecil; kita semua adalah manusia-manusia yang berhati tulus. Berpandangan positif. Berpikiran jernih. Berniat baik. Namun, setelah beranjak dewasa kita sering bertingkah sebaliknya. Seolah kita tidak pernah memiliki sifat-sifat baik itu dimasa lalu. Padahal, seperti yang pernah disampaikan oleh guru mengaji saya sewaktu kecil;”Tuhan telah mengilhamkan kepada setiap jiwa nilai-nilai kebaikan dan keburukan. Beruntunglah orang yang mensucikannya. Dan merugilah orang-orang yang mengotorinya.” Bersih dan kotornya jiwa seseorang sangat ditentukan oleh baik dan buruknya sesuatu yang keluar masuk kedalam hatinya. Sedangkan baik atau buruknya sesuatu yang masuk kedalam hati seseorang, sangat ditentukan oleh fungsi pintu hatinya.